Jumat, 21 Oktober 2011

ANAKKU, ENGKAULAH GURU KEHIDUPANKU

Anak-anak adalah guru sejati yang dikirimkan oleh Allah untuk mengajari ibunya. Mereka adalah utusan Allah untuk menyadarkan ibunya tentang keberadaan dirinya yang masih jauh dari sempurna, dilihat dari kriteria mana pun. Keikhlasan, ketawakalan, kecakapan kerja, disiplin, komitmen, dan masih banyak lagi yang lainnya.Anak-anak adalah cermin yang sangat jujur menampilkan atau memantulkan kembali apa-apa yang telah mereka serap. Kala mereka meninggikan nada suara, kala mereka membentak, saya tahu bahwa sayalah sumber inspirasi utama mereka untuk begitu. Mengingat TV hampir tak pernah menyala di saat mereka terjaga, mengingat prosentase terbesar waktu mereka adalah di samping saya.

Belum pernah ada guru yang bisa membuat saya tahu kelemahan saya sedahsyat sekarang ini. Rasanya, tidak pernah ada satu hari pun yang beres dan baik-baik saja. Ada saja hal yang kurang. Ada saja hal yang membuat kecewa. Kadang senang karena rumah beres, bisa masak yang diminati anak, bisa membaca menulis, tapi membentak anak tetangga juga melotot pada anak sendiri. Rasanya sudah hati-hati, dzikir juga sudah dijalankan seoptimal mungkin biar rutin. Namun heran sekali, mengapa kesalahan masih saja terus terjadi. Mungkin memang itulah fitrah manusia. Tidak bisa lepas dari kesalahan. Nyatanya Harut dan Marut yang semula malaikat terbaik saja bisa melakukan sederet dosa, sehingga disiksa sampai hari kiamat, ketika ditambah nafsu (diubah Allah menjadi manusia). Tentu saja itu bukan alasan pembenar untuk terus melakukan kesalahan. Sekadar penenang hati, bahwa manusia memang tempatnya salah dan lupa. Maka, harus selalu bersandar pada Allah, harus selalu beristighfar, harus senantiasa memperbarui tekad untuk melakukan yang baik, yang lebih baik, lebih baik lagi. Begitu setiap hari. Insya Allah.

Mengasuh anak, membersamai anak-anak setiap hari, itu sungguh kebutuhan saya. Kalau saya enggan, misalnya, kemudian saya mencari pengasuh untuk anak, bisa jadi mereka akan mendapatkan pengasuh yang lebih sabar dan telaten. Tapi saya? Saya kehilangan kesempatan mendapat pengajaran dari guru-guru istimewa. Saya kehilangan kesempatan untuk mengecek kondisi diri. Iman, kesabaran, keikhlasan, dan sebagainya. Saya kehilangan kesempatan menatap kehidupan sosok yang nurani dan pikirannya bersih. Saya kehilangan kesempatan belajar mengerem emosi, bagaimana tetap ’waras’ saat fisik capek dan pikiran sedang tak tenang. Bagaimana bisa tetap terkendali saat hati dipenuhi oleh pelbagai rasa tak enak (karena gesekan persoalan dengan orang dewasa lainnya).Masya Allah. Anak-anak adalah hadiah dari Allah untuk setiap ibu, bahkan juga orang-orang di sekelilingnya. Mendampingi anak membuat diri semangat untuk memberikan yang terbaik. Salah satunya adalah ASI. Saya keukeuh memberi ASI ke anak dengan eksklusif. Meski memang capek, berat, dan lisan tak jarang mengeluarkan keluh. Tapi saya tetap ingin memberi ASI eksklusif selama 6 bulan dan menggenapkan penyusuan sampai 2 tahun. Karena ASI itu produk Allah, disediakan-Nya untuk tumbuh kembang manusia. Komposisinya pasti pas dan tepat, dan pasti tidak mengandung resiko. Itulah mengapa saya tetap menyusui anak meski dia sudah punya adik (usia belum 2 tahun adiknya sudah lahir). Karena apa? Karena saya ingin dia makan makanan terbaik yang diberikan Allah. Saya pernah membaca kalau kandungan ASI berubah setiap hari, menyesuaikan kebutuhan anak. Subhanallah, kalau susu kaleng atau susu kardus mana bisa begitu. Lagipula, saya khawatir saja kalau anak sudah kecanduan susu formula tertentu, tiba-tiba ada pengumuman kalau susu tersebut mengandung ini dan itu yang berbahaya. Seperti yang pernah terjadi beberapa waktu yang lalu.

Mendampingi tumbuh kembang anak, menyaksikan kelucuan dan kelincahan mereka, binar ceria di mata mereka, memang membuat diri semangat untuk memberikan yang terbaik. Meski jadinya malah sering sebaliknya. Pingin segalanya beres, tapi karena satu dan lain hal tidak beres malah jadi ngamuk sama anak. Aneh, kan? Ya itulah. Semakin bertambah hari, rasanya bukan tambah sabar tapi tambah sering marah. Padahal sudah tahu kalau segala perilaku anak yang memancing emosi itu adalah tanda sehat dan kreatifnya mereka. Tapi ya itu, saat harus menghadapi anak yang banyak maunya, kerap terpancing marah. Kenyataan itu juga membuat diri prihatin. Harusnya kan semakin baik. Mengasuh anak memang berat. Rasanya tidak akan pernah cukup ilmu, dzikir dan apa pun ikhtiar manusia. Bertawakkal pada Allah harus selalu menyertai setiap upaya. Karena hanya dengan pertolongan-Nya saja anak-anak bisa selamat dari segala pengaruh buruk termasuk keburukan akhlak ibunya. Astaghfirullah, saya sedih kalau ingat setiap perlakuan tidak baik saya terhadap anak, dikarenakan kelemahan saya. Kelemahan pengendalian diri, ketidaksabaran, dan lain sebagainya.

Anak-anak adalah guru yang mengajarkan ketulusan dan anti dendam. Mereka cepat sekali memaafkan dan tidak suka mengungkit kesalahan. Anak-anak juga meneladankan optimisme hidup. Lihat anak yang sedang belajar merangkak, berjalan, bersepeda. Mereka terus dan terus mencoba, meskipun jatuh, meskipun terluka. Mereka tidak mudah trauma dengan yang namanya ’kegagalan’. Mereka adalah guru sejati kehidupan dalam meraih kesuksesan.
Terima kasih, Ya Allah. Terima kasih anak-anakku.


sumber : http://ibubahagiakandirimu.blogspot.com/2010/03/anakku-engkaulah-guru-kehidupanku.html

Ibu Rumah Tangga "Sebuah Tugas Mulia"

Sebuah pengantar yang begitu menginspirasi saya...

Sebagian besar ibu yang 'hanya' menjadi ibu rumah tangga terkesan dipinggirkan atau diremehkan oleh orang lain. Bahkan, tak sedikit dari para ibu itu sendiri merasa tidak ada artinya sama sekali ketika ditanya seputar pekerjaannya. 

Namun, tahukah para ibu, ternyata menjadi ibu yang 'hanya' menjadi ibu rumah tangga, mempunyai tanggung jawab yang tidak sedikit karena menyangkut kelangsungan bangsa dan negara ini????? Mengapa? Karena berkat ibu bangsa ini bisa tertata oleh generasi-generasi yang BERKUALITAS.  

Maka, bersyukurlah untuk para ibu yang 'hanya' menjadi ibu rumah tangga karena mempunyai waktu yang sangat banyak untuk menciptakan generasi penerang bangsa. Berkat jasanya yang tak terbayangkan dan terbayarkan ini tercipta generasi penerus bangsa berkualitas dan dapat membanggakan di mata dunia. Berkat didikanmu, tercipta anakt-anak shaleh dan shalehah yang bisa melawan musuh yang nyata dan tidak, setan dan hawa nafsu.

Jumat, 07 Oktober 2011

Renungan: Bukan Orangtua Malaikat

Oleh: Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Direktur Auladi Parenting School/Pendiri Program Sekolah Pengasuhan Anak (PSPA)
Ayah, Ibu…..
Ketahuilah, menjadi orangtua terbaik untuk anak-anak kita
bukanlah berarti kita diharapkan menjadi orangtua 'malaikat'
yang tak boleh kecewa, sedih, capek, pusing menghadapi anak.
Perasaan-perasaan negatif pada anak itu wajar,
bagaimana menyalurkannya hingga tak sampai menyakiti anak
itu yang menjadi fokus perhatian.

Artinya, ayah ibu,
sebenarnya kita masih tetap boleh sedih, kecewa pada anak,
tetapi kita sama sekali tak berhak untuk melukai
dan menyakiti anak-anak kita.
Ketahuilah, melotot, mengancam, membentak
dapat membuat hati anak terluka.
Apalagi, mencubit dan memukul tubuhnya.


Tubuhnya bisa kesakitan,
tapi yang lebih sakit sebenarnya apa yang ada dalam tubuhnya.

Ayah, Ibu…..
Karena kita bukan orangtua malaikat,
maka yakinlah anak kita pun bukan anak malaikat
yang langsung terampil berbuat kebaikan.
Mereka tengah belajar ayah,
mereka masih berproses Ibu.
Seperti belajar bersepeda,
kadang mereka terjatuh,
kadang mereka mengerang kesakitan ketika terjatuh.

Demikian juga dengan perilaku anak-anak kita,
mereka bereksplorasi,
mereka berproses,
mereka mengayuh kehidupan
untuk meraih kebaikan
dan menjadi manusia yang berperilaku baik.

Ketika mereka terjatuh saat belajar berperilaku,
sebagian kita lalu memvonisnya sebagai anak nakal,
padahal sebenarnya mereka belum terampil berbuat kebaikan.

Jika Ayah Ibu membimbing kebelumterampilan perbuatan baik anak
dengan cara yang baik.
Insya Allah kebelumterampilan berbuat baik mereka
akan terus tergerus dari kehidupan mereka.

Tetapi Ayah, Ibu,
jika kita menghadapi ketidakterampilan ini
dengan tekanan, ancaman, bentakan, cubitan, pelototan,
mereka akan semakin terpuruk ke arah keburukan.

Ayah Ibu….
Yakinlah, ketika seorang anak emosinya kepanasan:
nangis, marah yang terekspresikan dalam bentuk
yang mungkin dapat membuat orangtua jengkel,
siramlah ia dengan kesejukan.
Menyiram kayu yang terbakar dengan minyak panas
hanya membuat ia makin terbakar.

Ayah, Ibu…..
Yakinilah, sifat-sifat negatif anak
hanyalah bagian 'eksplorasi' untuk mencari cahaya kehidupan.
jika kita memahaminya sebagai sebuah bagian proses kehidupan,
insya Allah anak-anak kita akan akan menebar cahaya untuk kehidupan.

Karena itu ayah, ibu…,
jika kadang amarah dengan kejahilian memperlakukan anak
mampir lagi dalam hidup kita,
kamus yang benar adalah 'inila uji ketulusan'
bukan kegagalan,
terus belajar tentang kehidupan,
bukan tak berhasil dalam kehidupan.
Belajar, memburu ilmu,
adalah ikhtiar yang kita tuju,
karena sebagian kita ketika menikah
tidak disiapkan jadi orangtua.

Jadi, ayah ibu,
mari kita terus belajar,
meskipun telah jadi orangtua: belajar….jadi orangtua.
Andaikan keluarga kita kuat,
insya Allah anak-anak kita memiliki ketahanan mental
terhadap lingkungan yang gawat.

sumber : http://www.auladi.org/notes/10-notes/69-renungan-kita-bukan-orangtua-malaikat.html